Bos BI-OJK & LPS Ungkap Penyebab Kekeringan Uang di RI

by -130 Views

Jakarta, CNBC Indonesia – Indonesia mengalami kekurangan peredaran uang meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat bertahan di kisaran 5%. Hal ini diungkapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) di Kantor Pusat BI, Jakarta beberapa waktu lalu.

Dia berargumen fenomena ini muncul karena adanya crowded out dana masyarakat. Menurutnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan BI menerbitkan terlalu banyak instrumen, yakni Surat Berharga Negara (SBN), Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI).

“Jangan semuanya ramai membeli yang tadi saya sampaikan ke BI maupun SBN meski boleh-boleh saja tapi agar sektor riil bisa kelihatan lebih baik dari tahun yang lalu,” ujar Jokowi, dikutip Sabtu (30/12/2023).

Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) perbankan hanya 3,9% secara tahunan (year on year/yoy) per Oktober 2023, menjadi Rp 7.982,3 triliun. Angka pertumbuhan tersebut turun jauh dibandingkan dengan bulan sebelumnya sebesar 6,4% (yoy).

Pertumbuhan ini mengalami stagnasi pada November 2023. Pada bulan tersebut, DPK tercatat Rp 8.029,7 triliun, atau tumbuh sebesar 3,8% (yoy). Pertumbuhan DPK tersebut dipengaruhi oleh pertumbuhan DPK perorangan yang tumbuh sebesar 5,1% secara tahunan, sementara DPK korporasi tumbuh sebesar 3,1% secara tahunan.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan melambatnya pertumbuhan likuiditas atau dana pihak ketiga (DPK) itu disebabkan instrumen investasi kini semakin banyak, sehingga masyarakat tidak hanya mengalokasikan uang lebihnya untuk ditabung di bank saja, melainkan juga masuk ke berbagai instrumen investasi.

“Dulu hanya di DPK, di tabungan di perbankan, sekarang bisa beli SBN, ritel maupun investasi-investasi yang lain, sehingga memang untuk kelompok menengah ini memang penurunan DPK antara lain ada pergeseran dari dulunya di DPK ke pembelian obligasi pemerintah,” tutur Perry saat konferensi pers di kantor pusat BI, Jakarta, dikutip Rabu (27/12/2023).

Deputi Gubernur BI Juda Agung menambahkan, kondisi lemahnya pertumbuhan DPK itu terutama disebabkan golongan nasabah korporasi. Dipicu oleh pendapatannya yang ikut menurun akibat melemahnya harga-harga komoditas.

“Tidak setinggi tahun lalu karena harga-harga komoditas sekarang agak turun, jadi income dia, ekspor tidak setinggi tahun lalu,” kata Juda dalam kesempatan yang sama.

Juda mengakui pertumbuhan simpanan nasabah di bank melambat, tetapi dia memastikan likuiditas perbankan tidak mengalami gangguan, tercermin dari rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) tetap terjaga tinggi, yaitu 26,04%.

“Masih di angka 26%, ini jauh lebih tinggi dari rata-rata historisnya sekitar 20% dan juga threshold 10%,” tegas Juda.

Di sisi lain, dia mengungkapkan melambatnya pertumbuhan DPK juga tidak akan mengganggu penyaluran kredit. Sebab, likuiditas perbankan BI anggap masih sangat cukup terutama masuk ke dalam SBN.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai likuiditas bank di Indonesia dalam kondisi yang baik. Meskipun pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) dalam dua bulan terakhir terbilang rendah.

Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan bahwa memang terjadi perlambatan penempatan dana masyarakat di perbankan. Satu penyebabnya adalah ekonomi Indonesia saat ini dalam proses normalisasi setelah pandemi Covid-19.

“Justru angka-angka sekarang ini kembal mendekati sama dengan prapanedemi dalam arti besaran nominalnya,” kata Mahendra dalam Economic Outlook 2024, Jumat (22/12/2023).

Selain itu dia menduga perlambatan pertumbuhan DPK karena masyarakat memiliki banyak pilihan penempatan dana. “Instrumen menempatkan dana lebih bervariasi termasuk juga kemungkinan investasi SBN dan pasar modal,” kata Mahendra.

Kendati demikian dia menilai capaian kinerja penggalangan dana bank hingga menjelang akhir 2023 adalah sesuatu yang luar biasa. Melihat fenomena ini, Ketua Dewan Komisioner (DK) LPS Purbaya Yudhi Sadewa tidak tinggal diam. Dia mengatakan pihaknya sedang melakukan investigasi terhadap kemana larinya dana masyarakat.

“Jika melihat dari data-data yang bisa kita monitor, alat likuid dan lain-lain masih bagus. Ada sinyal seperti itu bahwa ada semacam kekeringan kurangnya likuiditas perbankan itu agak mengejutkan kami. Kami sedang meneliti lebih dalam ya, mudah-mudahan kita tahu penyebabnya,” kata Purbaya di LPS Awards pekan lalu.

Ia menjelaskan ada beberapa kemungkinan terkait kekeringan uang tersebut, yakni, uang itu hanya ‘ngumpul’ di bank besar atau di pemerintah yang dalam hal ini BI. Inilah yang LPS sedang teliti.

“Ini klasik di dalam dunia perbankan dalam keadaan ekonomi yang melambat uang seolah-olah hilang dari sistem perekonomian, ini kita bilang the cash of missing money kalau di ekonomi. Tidak gampang dari negara-negara berbeda. Makanya kita mesti teliti lebih dalam lagi,” pungkas Purbaya.