Military Leadership: Grand General TNI Sudirman

by -83 Views

Dengan berbagai keputusan teladan sebagai Panglima TNI pertama, Jenderal Sudirman telah memberikan warisan yang tangguh dan terhormat kepada generasi TNI berikutnya: Sebuah tradisi kepahlawanan dalam bentuk yang paling murni.

Dia meninggalkan pondasi harga diri dan kebanggaan bagi generasi pemimpin TNI masa depan. Karakter dan tindakan Pak Dirman pada saat itu mencerminkan karakter dan tindakan seorang pemimpin prajurit sejati.

Kepahlawanan beliau telah memberikan reputasi TNI sebagai kekuatan yang tak kenal lelah yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan individu atau kelompok. Beliau meneguhkan gagasan bahwa prajurit TNI harus berani mengorbankan segalanya demi kehormatan dan kemuliaan bangsa.

Jenderal Sudirman lahir di Purbalingga pada tanggal 24 Januari 1916. Beliau adalah seorang guru sekolah dasar di sebuah sekolah yang dikelola Muhammadiyah di Solo, yang saat itu disebut Surakarta. Ketika para pemimpin gerakan kemerdekaan Indonesia berhasil meyakinkan penduduk Jepang bahwa mereka seharusnya memperbolehkan penduduk Indonesia membentuk organisasi militer pertahanan diri, berbagai organisasi militer diorganisir di bawah pengawasan ketat Jepang.

Di Jawa, kekuatan ini disebut Pembela Tanah Air (PETA). PETA di Jawa diorganisir di tingkat kabupaten, dan ada sekitar 60 batalyon relawan PETA yang dilatih dan diorganisir. Komandan batalyon dipilih dari para pemimpin pribumi yang sangat dihormati di kabupaten mereka.

Di Purwokerto, seorang kepala sekolah muda dari sekolah menengah Islam di bawah naungan Muhammadiyah dipilih. Hal ini menunjukkan bahwa, sebagai seorang kepala sekolah muda, Sudirman sudah dikenal dan dihormati atas integritas dan karakter lurusnya. Pemuda yang memiliki pendidikan dan reputasi baik dipilih menjadi komandan kompi dan komandan peleton. Mereka dilatih oleh Jepang di pusat pelatihan perwira di Bogor. Di antara komandan kompi adalah nama-nama seperti Suharto, Ahmad Yani, Kemal Idris, Surono, Sarwo Edhie dan banyak nama lain yang kemudian terkenal sebagai pemimpin TNI.

Selama perang, para komandan PETA ini segera mengambil alih kepemimpinan batalyon mereka dan bersumpah setia kepada republik yang baru diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebagai pemimpin batalyon Purwokerto, Sudirman segera bergerak menuju Magelang, salah satu pusat konsentrasi militer sejak zaman penjajahan Belanda. Setelah merebut Magelang pada akhir 1945, Sudirman terus mengejar pasukan Inggris yang menduduki Hindia Belanda.

Meskipun Inggris telah berencana untuk mundur, unit-unit Sudirman terus melecehkan pasukan Inggris sehingga kepergian mereka dipercepat. Dalam persepsi pejuang kemerdekaan Indonesia, ia menjadi sosok heroik yang mewakili semangat juang TNI yang garang. Beliau dianggap berhasil mendorong dan mengusir pasukan Inggris dari Magelang serta memimpin serangan Ambarawa terhadap mereka. Ini merupakan pukulan penting dalam memastikan bahwa Jawa Tengah berada di bawah kendali penuh Republik Indonesia.

Setelah kejadian di mana Sudirman meraih ketenaran dan mendapatkan penghormatan dari rekan-rekannya yang menjadi komandan batalyon di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur, Presiden Sukarno, melalui Menteri Pertahanan, menunjuk Urip Sumarjo sebagai Panglima Pertama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada tanggal 5 Oktober 1945. Perwira senior dari Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) saat itu, Urip Sumoharjo, diangkat sebagai Panglima Besar.

Beliau berjanji setia kepada TNI. Beliau dianggap sebagai prajurit yang paling profesional dan berpengetahuan luas di Indonesia. Namun, para pemimpin semua batalyon di Jawa protes bahwa mereka tidak ingin memiliki Panglima Besar yang dilatih oleh Belanda. Mereka semua memilih Sudirman sebagai Panglima Besar. Keputusan mereka disampaikan kepada Presiden Sukarno. Untuk menjaga kesatuan dan perdamaian republik muda, Presiden Sukarno mengubah keputusannya. Sudirman diangkat menjadi Panglima Besar TKR, dan Urip Sumoharjo menjadi Kepala Staf Umum di bawahnya.

Pada tanggal 19 Desember 1948, meskipun terjadi kesepakatan gencatan senjata di bawah naungan PBB, Belanda melancarkan operasi militer berupa serangan mendadak di Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia saat itu. Banyak yang menyamakan serangan ini dengan serangan mendadak Jepang di Pearl Harbor pada tahun 1941 atau pukulan mendadak Signor Mussolini terhadap Prancis pada tahun 1940. Menghadapi kenyataan ini, banyak pemimpin negara saat itu memutuskan untuk tidak bertahan dan melawan serta membuktikan ketidak-legalan tindakan Belanda melalui sarana diplomatik dan politik.

Pada akhir tahun 1948, Jenderal Sudirman, Panglima TNI pertama, menderita tuberkulosis parah. Kesehatannya sangat buruk, dan beliau hanya memiliki satu paru-paru yang berfungsi setelah operasi. Meskipun sakit, Sudirman meninggalkan rumah sakit tempat dia dirawat dan pergi menemui Presiden Sukarno pada awal serangan mendadak Belanda. Beliau menyarankan agar Presiden meninggalkan Yogyakarta dengan Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan memimpin perang gerilya melawan invasi Belanda. Namun, Presiden Sukarno menolak untuk memimpin perang gerilya.

Sukarno bahkan memerintahkan Jenderal TNI Sudirman untuk tetap tinggal di kota karena kondisi medisnya yang parah. Presiden Sukarno, bersama hampir seluruh anggota kabinetnya, memilih untuk tidak meninggalkan kota untuk bertempur dan memberikan resistensi yang sangat sedikit ketika pasukan Belanda yang maju menangkap mereka.

Jenderal Sudirman memutuskan untuk meninggalkan Yogyakarta dan melakukan perang gerilya melawan musuh. Berdasarkan catatan sejarah, dapat diketahui bahwa rakyat Indonesia sangat kecewa dengan kabar penangkapan Presiden, Wakil Presiden, dan Perdana Menteri Indonesia. Namun, perlawanan sengit yang dilakukan oleh Jenderal TNI Sudirman dan orang-orangnya meningkatkan moral seluruh bangsa, dan akhirnya TNI mendapatkan keunggulan.

Dengan berbagai keputusan teladan beliau, Jenderal Sudirman telah memberikan kepada generasi TNI berikutnya warisan yang tangguh dan terhormat, yaitu tradisi kepahlawanan dalam bentuk yang paling murni. Kepemimpinannya dalam perang gerilya melawan Belanda meninggalkan pondasi harga diri dan kebanggaan bagi generasi pemimpin TNI masa depan.

Jenderal Sudirman telah menunjukkan bahwa beliau memiliki kepribadian yang kuat dan tak kurang dalam keberanian, sikap tegas, dan semangat pengorbanan yang tulus. Beliau sadar bahwa ada kemungkinan tinggi beliau akan terluka dan tidak menerima perawatan medis yang memadai selama perang gerilya seperti itu. Namun, beliau memilih untuk mempertaruhkan nyawanya demi kepentingan bangsa Indonesia. Tindakannya mengangkat kepercayaan bawahannya dan rakyat secara luas di hadapan serangan Belanda.

Sulit untuk membayangkan bagaimana keadaannya saat itu jika pada saat itu Jenderal Sudirman juga ditawan oleh Belanda. Sikap dan tindakan Pak Dirman saat itu tidak lain adalah sikap dan tindakan seorang pemimpin prajurit sejati. Perbuatan heroiknya telah memberikan reputasi TNI sebagai kekuatan yang tak kenal lelah yang menempatkan kepentingan bangsa dan kepentingan negara di atas kepentingan individu atau kelompok. Beliau menegaskan tradisi TNI untuk mengorbankan segalanya demi kehormatan dan kemuliaan bangsa.

Source link