QUALITIES OF TRUE MILITARY LEADERS

by -69 Views

Para mentor saya dari generasi ‘45 adalah pemimpin lapangan, komandan kekuatan tempur, dan pemimpin militer. Ada lima hal yang saya pelajari dari mereka yang telah membentuk kepribadian saya: Pertama, Patriotisme, cinta mereka terhadap tanah air tidak pernah pudar meskipun usia mereka bertambah; Kedua, Kepercayaan Diri; Ketiga, Intelek, mereka adalah pembelajar seumur hidup dan sangat antusias untuk belajar tentang hal-hal di luar domain mereka; Keempat, Rasa Humor yang Baik, yang memungkinkan mereka untuk terhubung secara emosional dengan juniornya dan orang-orang yang mereka pimpin; Kelima, Fleksibilitas, mereka tidak terlalu terikat oleh protokol.” Sikap dan kepemimpinan seorang pemimpin militer terbentuk di medan perang. Sebagai seorang perwira muda, saya beruntung karena mendapat pendidikan, pelatihan, perawatan, dan bimbingan dari banyak tokoh perang kemerdekaan dan pelaku militer di awal Republik Indonesia. Pada saat itu, tidak ada jaminan bahwa Republik bisa bertahan. Pemerintah tidak memiliki anggaran, baik untuk pembangunan maupun untuk militer. Kebangkitan bangsa ditentukan semata-mata oleh puluhan ribu orang Indonesia dari berbagai etnik, ras, suku, agama, dan wilayah. Mereka dihadapkan pada pilihan antara bergabung dengan gelombang kemerdekaan atau bermain aman karena risikonya terlalu besar. Namun banyak yang memilih untuk mengorbankan nyawa mereka untuk berjuang demi kemerdekaan agar kita akhirnya bebas dari belenggu penjajahan yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Mereka adalah orang-orang yang kita kenal sebagai generasi ‘45. Mereka adalah ‘generasi pembebas’. Mereka bisa dianggap sebagai generasi terbaik Indonesia. Sebagai seorang kadet muda di Akademi Angkatan Bersenjata dan kemudian sebagai seorang perwira muda, saya merasa sangat beruntung karena memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan banyak tokoh dari generasi ‘45. Bahkan beberapa anggota keluarga saya adalah bagian dari generasi ini. Kakek saya, Margono Djojohadikusumo, dipercaya oleh Bung Karno untuk melanjutkan perjuangan kemerdekaan ketika Bung Karno dan semua tokoh nasionalis pribumi lainnya ditangkap dan diasingkan oleh Belanda dari Jawa pada tahun 1934. Sehari sebelum Bung Karno akan diasingkan ke kota kecil Ende, di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, beliau memanggil Pak Margono. Bung Karno memberikan mandat kepada kakek saya untuk membantu mendirikan Partai Indonesia Raya (PARINDRA) dan pada saat yang sama menjabat sebagai ketuanya. Pada saat itu, Partai Nasional Indonesia (PNI), partai utama dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, sudah dibubarkan oleh Belanda. Hampir semua tokoh utamanya ditangkap. Ketika Bung Karno tiba di Jakarta setelah dibebaskan oleh Belanda dari pengasingan, Pak Margono segera pergi menemui beliau dan mengembalikan mandatnya. Demikian pula, kedua putranya, Kapten Subianto Djojohadikusumo dan Kadet Sujono Djojohadikusumo juga bagian dari generasi ’45. Kedua paman saya meninggal dalam pertempuran melawan pasukan Jepang di Lengkong, Serpong, Tangerang Selatan, Banten pada tanggal 25 Januari 1946. Dalam peristiwa yang dikenal sebagai Pertempuran Lengkong, para kadet Akademi Militer Tangerang di bawah pimpinan Mayor Daan Mogot mencoba merebut senjata dari pangkalan Jepang. Namun hampir seluruh kadet tewas dalam pertempuran, termasuk komandannya dan kedua pamanku. Pada saat yang sama, ayah saya, Soemitro Djojohadikusumo, setelah pulang dari Belanda sebagai orang Indonesia pertama yang memiliki gelar Doktor Ilmu Ekonomi, yang diperolehnya dari Universitas Rotterdam, langsung bergabung dalam perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Beliau terlibat dalam penyelundupan karet dan kelapa keluar dari Indonesia untuk membiayai penyelundupan senjata ke negara ini untuk mendukung pasukan Indonesia. Beliau juga berperan dalam mencetak uang kertas Indonesia pertama yang dikenal sebagai ORI (Oeang Republik Indonesia). Pada usia 29 tahun, beliau menjadi asisten pribadi untuk Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Saya lahir pada tahun 1951, sepuluh bulan setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Kenangan pertama saya sebagai seorang anak adalah mengunjungi Taman Makam Pahlawan (TMP), di mana kedua paman saya dimakamkan, dan mengunjungi rumah kakek saya pada hari Minggu. Kakek saya selalu memasang tenda militer paman saya di halaman sebelum saya tiba. Itu adalah hal yang selalu menyambut kedatangan saya. Kakek saya juga menunjukkan kepada saya dua tempat tidur paman saya, ransel, dan helm yang beliau simpan. Bahkan seragam mereka masih terlipat rapi, dan sepatu militer mereka diletakkan di bagian lain tempat tidur mereka selalu mengkilap. Dengan halus, kakek nenek saya menunjukkan betapa mereka menghargai dan menghormati pengorbanan terbesar yang telah dilakukan anak-anak mereka untuk kemerdekaan, kedaulatan, dan kehormatan bangsa Indonesia. Dari situlah muncul semangat ’45 yang disebut-sebut. Ini adalah semangat yang bertujuan untuk meningkatkan Indonesia menjadi negara yang independen, terhormat, dan adil, dengan warganya yang sejahtera dan bahagia yang setara dengan negara-negara lain. Dari sana muncul transfer nilai dari generasi ’45 ke generasi berikutnya, termasuk kepada saya. Keluarga saya adalah keluarga generasi ’45. Saya tumbuh di lingkungan pejuang kemerdekaan. Sering disebut sebagai lingkungan ‘republiken’, menggunakan terminologi saat itu. Generasi ’45 naik daun karena mereka tidak ingin diperlakukan lebih rendah dari anjing oleh para penjajah. Di masa lalu, mereka sering mendengar frasa verboden voor Honden en Inlanders (anjing dan pribumi dilarang masuk) dan melihatnya tertulis di dinding banyak tempat usaha. Bahkan pada tahun 1978, ketika saya menjabat sebagai Komandan Kompi di Grup 1 Pasukan Khusus (KOPASSUS), saya menemukan frasa tersebut di sebuah kolam renang di Manggarai, Jakarta Selatan. Frasa itu diukir di dinding marmer di sebelah kolam renang. Namun pada saat itu, tulisan itu tertutup lumut hijau. Rasa ingin tahu saya mendorong saya untuk memerintahkan anak buah saya untuk membersihkan lumut itu. Dan dengan kejutan, yang terlihat jelas adalah frasa Belanda: Verboden voor Honden en Inlanders. Anjing dan pribumi tidak boleh masuk ke kolam renang ini. Apa yang lebih membuat hati terluka, kami pribumi diletakkan di bawah anjing. Pada saat itu, orang Belanda menganggap anjing lebih terhormat daripada kami, orang asli tanah. Selain tumbuh di keluarga pejuang kemerdekaan, saya juga beruntung dapat langsung berinteraksi dengan para tokoh kunci dari generasi ’45. Saya sering mengunjungi rumah Pak Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama. Pak Margono pernah menjadi sekretarisnya. Suatu kali, ayah saya, Pak Soemitro, bahkan membawa saya ke Istana Presiden ketika saya berusia sekitar 6 atau 7 tahun. Bung Karno melihat saya dan sebentar menggendong saya. Ketika saya masih kecil, rumah kami sering didatangi oleh tamu. Kemudian, saya akan mengerti bahwa mereka adalah tokoh-tokoh penting yang memainkan peran kunci dalam perang kemerdekaan dan tahun-tahun pembentukan bangsa. Demikian pula, ketika saya masuk Akademi Angkatan Bersenjata (AKABRI) di Magelang pada tahun 1970, beberapa pengajar dan komandan saya adalah dari generasi ’45. Mayor Jenderal TNI Sarwo Edhie Wibowo, Gubernur AKABRI (1970-1974), adalah salah satu tokoh besar yang saya temui. Tugas terakhirnya adalah Komandan Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih, dan ia pensiun dengan pangkat Letnan Jenderal. Saya juga bertemu dengan Brigadir Jenderal Himawan Sutanto, Wakil Gubernur AKABRI, ketika saya masih kadet. Jabatan terakhirnya adalah Kepala Staf Umum TNI dengan pangkat Letnan Jenderal. Saya juga mengenal Mayor Jenderal Wijogo Atmodarminto, Gubernur AKABRI (1970-1974). Jabatan terakhirnya adalah Komandan Komando Wilayah Pertahanan II, dengan pangkat Letnan Jenderal. Tokoh lain yang saya kenal adalah Brigadir Jenderal TNI Sudarto, Komandan Divisi Kadet AKABRI. Selain itu, saya bertemu dengan Mayor Jenderal TNI Purbo S. Suwondo, Wakil Gubernur AKABRI (1962-1966). Tugas terakhirnya adalah sebagai anggota staf Komandan Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB), sebuah lembaga keamanan dalam negeri khusus dan kuat yang langsung di bawah Presiden Soeharto, dengan pangkat Letnan Jenderal. Kemudian Mayor Jenderal Soesilo Soedarman kemudian menjadi Jenderal TNI (Purn.), jabatan terakhirnya adalah Pangkowilhan I dan IV. Saya juga bertemu dengan Kolonel Infanteri Susanto Wismoyo, yang pensiun dengan pangkat Brigadir Jenderal dan jabatan terakhir sebagai Pangdam XIII/Merdeka. Selanjutnya, melalui pelayanan saya sebagai seorang perwira muda, saya juga berinteraksi dengan Mayor Jenderal Benny Moerdani. Beliau kemudian menjadi Jenderal TNI sebagai Panglima TNI. Brigadir Jenderal Ali Moertopo kemudian menjadi Letnan Jenderal TNI dengan jabatan terakhir sebagai Wakil Kepala…

Source link