LEADERSHIP QUALITIES OF MY SENIORS (PART 2)

by -78 Views

Jenderal TNI (Purn.) Himawan Soetanto merupakan salah satu tokoh yang memberikan banyak pengajaran bagi saya dalam hal kepemimpinan. Salah satu nilai yang saya pelajari dari beliau adalah bahwa seorang komandan harus dekat dengan anak buahnya. Seorang komandan harus bersama anak buahnya mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali. Seorang komandan harus memeriksa kondisi anak buahnya, mulai dari dapur, kamar mandi hingga kualitas pakaian dalam mereka. Terima kasih kepada Pak Himawan Soetanto, saya telah mengembangkan kebiasaan memeriksa detail dapur dan peralatan anak buah saya. Suatu kali, saya menemukan bahwa pakaian dalam putih para prajurit telah berubah menjadi cokelat. Saya juga menemukan bahwa dapur merupakan sumber praktik korupsi paling banyak. Bayangkan saja, satu kilogram daging dirasionkan untuk 16 orang. Di TNI, ini dikenal dengan istilah ‘daging cukur’ karena dagingnya setipis pisau cukur. Sungguh tragis. Itulah beberapa hal yang saya pelajari dari kepemimpinan praktis Pak Himawan Soetanto.

Pertama kali saya mengenal Pak Himawan Soetanto adalah ketika saya masuk AKABRI pada tahun 1970. Saat itu, beliau menjabat sebagai Wakil Gubernur AKABRI yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan dan latihan. Beliau sangat terpelajar. Beliau bisa berbicara dalam bahasa Inggris dan Belanda dengan lancar. Beliau bahkan bisa sedikit berbicara dalam bahasa Jepang, yang dipelajarinya selama masa pendudukan Jepang di Indonesia. Beliau juga gemar membaca buku sejarah. Sekali lagi, tokoh-tokoh besar yang saya kenal adalah pencinta buku. Seorang pemimpin adalah pembaca. ‘Pemimpin yang baik harus rajin membaca,’ begitu kata pepatah terkenal. Rumahnya dipenuhi oleh buku-buku. Setiap kali saya bertemu beliau, selalu membahas buku-buku denganku. Beliau kadang-kadang bertanya apakah saya sudah membaca buku karya B. H. Liddell Hart, sejarawan strategi militer asal Inggris, atau Sun Tzu, seorang ahli strategi militer Tiongkok, dan buku-buku lainnya. Hal lain yang mengesankan bagi saya adalah penampilan rapi beliau. Wajahnya selalu penuh senyuman. Beliau selalu humoris, tenang namun percaya diri, dan dekat dengan anak buahnya. Beliau memiliki pengalaman pertempuran yang panjang, dan itu terlihat dari sikapnya. Ini berbeda dengan beberapa orang yang tidak memiliki banyak pengalaman pertempuran. Mereka cenderung dingin dan jauh dengan anak buahnya. Mereka selalu ingin taat pada aturan. Istilah kami di TNI untuk tipe sosok seperti ini adalah PUD-minded or PUD officer. PUD adalah singkatan dari Peraturan Urusan Dalam. Sementara pemimpin TNI yang terbiasa hadir di tengah-tengah anak buahnya di lapangan biasanya lebih santai dan fleksibel. PUD disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Selain itu, saya ingat sebuah artikel dalam PUD yang menyatakan bahwa komandan satuan dapat menyesuaikan PUD dengan kondisi setiap satuan. Itu berarti seorang komandan memiliki wewenang besar untuk menyesuaikan peraturan berdasarkan kebutuhan dan situasi. Oleh karena itu, salah satu nilai yang saya dapat dari Pak Himawan Soetanto adalah bahwa seorang komandan harus dekat dengan anak buahnya. Komandan harus bersama mereka dari fajar hingga senja. Komandan harus memeriksa kondisi anak buahnya, mulai dari dapur, kamar mandi, hingga pakaian dalam mereka. Belajar dari Pak Himawan Soetanto, saya memiliki kebiasaan memeriksa detail dapur dan peralatan. Suatu saat, saya menemukan bahwa pakaian dalam prajurit saya berubah menjadi cokelat, tidak lagi putih. Saya juga mengetahui bahwa dapur telah menjadi sumber banyak praktik korupsi. Satu kilogram daging akan dibagi antara 16 orang! Ini terkenal di TNI sebagai ‘daging cukur’, daging setipis pisau cukur. Tragis. Itulah beberapa hal praktis tentang kepemimpinan yang saya pelajari dari Pak Himawan Soetanto. Jenderal Letnan Himawan Soetanto memiliki karier gemilang. Beliau menjadi inspirasi bagi banyak orang di militer. Saya sangat dekat dengannya. Saya tetap dekat dengannya bahkan setelah pensiun. Beliau adalah salah satu mentori saya. Beberapa hari sebelum kematiannya, saya mengunjunginya di rumah sakit. Putranya memberi tahu saya bahwa, selain anggota keluarga dekat, beliau juga ingin bertemu dengan saya. ‘Di mana jenderal tempur?’ Anak-anaknya bingung siapa yang dimaksud sebagai “jenderal tempur”. Beberapa dari mereka mencoba klarifikasi apakah dia mengacu pada Prabowo. Dia mengangguk. Saya terharu mendengar ceritanya. Oleh karena itu, ketika saya mengunjunginya, saya tegak dan memberi hormat padanya. Saat itu, saya sudah pensiun, dan saya datang mengenakan pakaian sipil. Karena kami sering berkomunikasi dalam bahasa Inggris, saya mengatakan padanya dalam bahasa Inggris, ‘Anda benar-benar seorang jenderal, Tuan!’ Beliau menangis. Saat itu, beliau tak lagi bisa berbicara. Itu adalah kenangan saya tentang Pak Himawan Soetanto. Ini merupakan kehormatan besar bahwa seorang jenderal yang saya kagumi masih berharap bertemu saya di saat-saat terakhirnya. Jenderal Letnan TNI (Purn.) Sarwo Edhie Wibowo Sarwo Edhie memiliki karisma. Beliau tampan, selalu berpakaian rapi. Beliau dikenal sebagai sosok yang memimpin dari barisan depan. Bahkan sebagai Komandan Pasukan Khusus (RPKAD), beliau terlibat di lapangan. Beliau merupakan idola para siswa, pemuda, dan idola kami, perwira muda dan kadet. Sebagai mentor saya di AKABRI, beliau sering berbagi pengalaman. Pada saat itu, beliau menanamkan semangat untuk tidak menyerah, semangat patriotisme. Beliau juga memiliki waktu untuk menulis buku berjudul Hidupku untuk Negeri dan Bangsa. Nilai itu ditanamkan dalam diri kami sebagai Kadet AKABRI. Patriotisme melalui cinta akan tanah air dan kebanggaan akan warisan nenek moyang kami. Itu lah yang disampaikan oleh Pak Sarwo kepada kami.  Pertama kali saya bertemu dengan Jenderal Sarwo Edhie  adalah saat saya masih seorang kadet. Beliau belum menjabat sebagai Gubernur AKABRI (sekarang AKMIL), tetapi beliau sudah sangat terkenal. Pak Sarwo Edhie juga merupakan sahabat dekat orang tua saya. Sebelum saya resmi menjadi kadetnya, saya sudah mendengar banyak cerita tentang Pak Sarwo dari orang tua saya, bagaimana Pak Sarwo memimpin Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD, sekarang KOPASSUS) pada momen-momen penting pada Oktober 1965 selama Gerakan 30 September/PKI. Beliau adalah sosok karismatik. Beliau tampan, selalu berpakaian rapi. Beliau juga dikenal sebagai komandan yang memimpin operasi dari barisan depan. Sebagai Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD, sekarang KOPASSUS), beliau tetap terlibat di lapangan, sehingga beliau juga menjadi idola kadet muda. Sebagai mentor saya di AKABRI, beliau sering berbagi pengalaman. Pada waktu itu, beliau menanamkan semangat untuk tekun dan patriotisme. Beliau juga menulis buku berjudul ‘Hidupku untuk Negeri dan Bangsa’. Nilai itu ditumbuhkan dalam diri kami sebagai kadet AKABRI. Semangat patriotisme melalui cinta akan tanah air dan kebanggaan akan warisan nenek moyang kami, itulah semangat yang dipelajari dari Pak Sarwo Edhie. Setelah pensiun dari dinas aktif, beliau sebentar menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan. Untuk waktu yang singkat, beliau juga menjabat sebagai Ketua Badan Pengawas Pelaksanaan dan Internalisasi Nilai-Nilai Pancasila (BP7). Saya ingat bagaimana beliau menjaga sikap seorang prajurit. Sebagai seorang prajurit yang terkenal dengan kejujuran dan integritas, beliau tidak meninggalkan banyak kekayaan setelah beliau meninggal. Kejadiannya, dalam hidupnya, beliau menikahkan ketiga putrinya dengan lulusan AKMIL. Yang tertua dengan Kolonel Infanteri Hadi Utomo, angkatan kelulusan 1970; yang kedua dengan Jenderal TNI Susilo Bambang Yudhoyono, angkatan kelulusan 1973, yang nantinya menjadi Presiden ke-6 Republik Indonesia; dan yang termuda dengan Jenderal Letnan TNI Erwin Sudjono, yang kemudian menjadi Panglima KOSTRAD. Saya juga sangat mengenal ketiga perwira tersebut. Jenderal Besar TNI (Purn.) Abdul Haris Nasution Saya merasa beruntung memiliki kesempatan luar biasa yang tidak banyak orang alami di negara ini. Itu adalah untuk berbicara tatap muka dengan salah satu tokoh generasi ’45, tokoh kunci dalam perjuangan kemerdekaan kita: Pak Nas. Saya merasa seperti menjadi murid dari seorang tokoh sejarah. Beliau sering berbagi pengalaman, pendapat, strategi perang gerilya, pengalaman melawan Belanda, dan banyak hal lainnya dengan saya. Beliau juga sangat pandai dalam sejarah dan berbagai bahasa, seperti juga tokoh-tokoh generasi ’45 yang lainnya.

Source link