Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia saat ini sedang mengalami tekanan yang besar. Kenaikan tajam barang impor yang tidak terkendali dan lemahnya daya saing telah membuat banyak pabrik dalam kesulitan. Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Farhan Aqil, mengungkapkan bahwa lebih dari sepuluh perusahaan TPT saat ini berada dalam kondisi kritis dan berisiko ditutup. Selain Sritex, keberadaan dua pabrik lainnya yang menghadapi tekanan serius dan risiko penutupan juga terdeteksi. Menurut Farhan, masalah tekanan impor dan kurangnya daya saing telah mendorong industri tekstil untuk mencari pasar alternatif di luar negeri dengan mengandalkan ekspor sebagai solusi sementara. Namun, ia menegaskan perlunya kontrol yang ketat terhadap impor tekstil guna melindungi industri dalam negeri. Di samping itu, Farhan juga mendorong pemerintah untuk mengoptimalkan penerapan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) baik dalam pembelian pemerintah maupun sektor swasta. Dampak dari krisis ini juga terlihat dalam lonjakan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang meningkat secara signifikan. Data dari APSyFI menunjukkan bahwa sejak tahun 2019 hingga 2023, sekitar 214 ribu pekerja TPT (di luar sektor garmen) telah kehilangan pekerjaan. Pada tahun 2023, jumlah tenaga kerja di sektor TPT mencapai 3.765 juta orang. Namun, jumlah pekerja yang di-PHK meningkat drastis pada tahun 2024. Berdasarkan data per Januari-Oktober 2024, sekitar 319 ribu pekerja TPT kehilangan pekerjaan, menyisakan 3.446 juta orang di industri TPT per Oktober 2024. Di tengah gelombang PHK ini, pemerintah menyatakan bahwa penciptaan lapangan kerja baru lebih besar dari jumlah pekerja yang di-PHK. Menanggapi hal ini, Farhan melihat peluang untuk mendapatkan tenaga kerja yang lebih profesional dan memiliki pengalaman dalam industri tekstil. Kabar tersebut membawa peringatan serius bagi industri tekstil Indonesia, yang mengalami tekanan besar dan menghadapi tantangan berat dalam menjaga keberlangsungan bisnis mereka.
Tsunami PHK di Industri Tekstil RI: Biang Kerok Krisis
