Para pejabat di pemerintah daerah khawatir instansinya kolaps atau bangkrut akibat rencana kebijakan sistem basket anggaran belanja pegawai yang akan diterapkan pemerintah pusat dalam rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang manajemen pegawai aparatur sipil negara (ASN).
Kekhawatiran bangkrut ini disampaikan salah satu pejabat pemerintahan kabupaten Konawe Utara, Safruddin dalam acara Penataan Manajemen ASN Pasca UU No. 20 Tahun 2023 tentang ASN, yang digelar pada Senin (6/11/2023).
Ia menilai, beban anggaran belanja pegawai yang menggunakan sistem basket akan membebani keuangan daerah. Sebelumnya, banyak pemerintahan daerah yang menggantungkan beban anggaran belanja pegawai terhadap dana alokasi umum dari pemerintah pusat.
“Nah, dalam proporsi yang disetelah keluarnya aspek penataan manajemen ASN lahirnya UU No. 20/2023, itu tentunya akan menjadi beban dan bahkan ada daerah yang akan kolaps, karena pembebanan itu berdasarkan kemampuan daerah,” kata dia seperti yang dikutip Selasa (7/11/2023).
Sekda Konawe, Ferdinand Sapan menambahkan, permasalahan ini juga disebabkan struktur APBD di banyak pemerintah daerah yang porsi penerimaan asli daerahnya paling tinggi sebesar 15% dari APBD masing-masing, bahkan ada yang 95% menggantungkan pendapatannya dari dana transfer pemerintah pusat.
“Dalam praktiknya apa yang bapak masukkan dalam UU ini prinsipnya dasar bagus, tapi dalam implementasinya di daerah banyak hambatan tantangan yang tidak seperti yang bapak pikirkan,” tegasnya.
Merespons pernyataan tersebut, Plt. Asisten Deputi Manajemen Talenta dan Peningkatan Kapasitas SDM Aparatur Kementerian PANRB, Yudi Wicaksono menegaskan, sistem basket anggaran belanja pegawai tidak akan sampai membuat suatu daerah bangkrut, karena juga terbebani untuk menggaji pegawai di daerah.
Ia memperkirakan, yang mungkin terjadi adalah adanya pegawai di instansi tersebut yang gaji atau penghasilannya di bawah rentang penghasilan baru yang akan ditetapkan pemerintah dalam RPP manajemen pegawai ASN. RPP itu merupakan aturan turunan dari UU No. 20/2023 yang menggantikan UU No. 5/2014.
“Pembebanan anggaran SDM yang baru tidak akan membuat SDM kolaps rasanya tidak, yang terjadi kemungkinan ada pegawai yang digaji di bawah rentang salary,” tegas Yudi.
Oleh sebab itu, ia menyarankan untuk memiliki peta jalan dalam menangani pegawai yang berpotensi memiliki penghasilan di bawah rentang gaji baru. Mulai dari penurunan hingga relokasi pegawai ke daerah lain yang memiliki ruang anggaran atau APBD lebih besar.
“Ketika kita simulasikan pertama kali, untuk migrasi pertama kali bisa jadi ada yang di bawah rentang gaji baru. Untuk itu, setiap instansi daerah yang memiliki pegawai di bawah rentang gaji baru nanti harus memiliki roadmap kapan yang bersangkutan bisa dimasukkan dalam rentang, mitigasinya bagaimana, berarti harus ada penurunan,” tuturnya.
Opsi lainnya adalah daerah itu harus mampu meningkatkan porsi penerimaan asli daerah (PAD), atau mampu meningkatkan memperoleh peningkatan alokasi transfer dari pemerintah pusat dengan meningkatkan kontribusi capaian prioritas nasional, indeks reformasi birokrasi (RB), dan anggaran sumber daya manusia yang ditinjau oleh Kepala Bappenas, Menteri Keuangan, Menteri PANRB, dan Kemendagri.
“Kalau anggarannya tidak bisa ditambah, PAD tidak bisa lebih besar atau top-up dari pusat tidak bisa bertambah, maka pilihannya harus ada redistribusi pegawai di instansi itu,” ucap Yudi.
“Kita akan memiliki bursa posisi ASN, mudah-mudahan akan terbuka, Konawe bisa melihat di Sulawesi yang masih membutuhkan pegawai dengan jenjang atau formasi apa itu nanti akan terbuka harapannya seperti itu sehingga pegawai di tempat bapak bisa didorong mutasi ke daerah yang anggarannya masih longgar,” ungkapnya.
Jika daerah tidak ingin menggunakan sistem basket anggaran belanja pegawai, Yudi menekankan bahwa pemerintah dapat mengembalikan sistem belanja seperti yang ada saat ini, dengan porsi anggaran untuk gaji lebih kecil dari insentif yang diterima. Konsekuensinya, pensiunan para ASN tidak akan membaik dan terus menerus kecil di masa tua.
“Jadi itu untuk sistem basket anggaran, kalau tidak ya kita kembali ke sistem sekarang di mana gaji kita lebih kecil dari insentif, bapak ibu sejahtera ketika masih menjabat tapi begitu pensiun langsung terjun bebas. Ini pilihan, hidup ini pilihan, mau kita sistemnya basket atau sistemnya kita sentralistik seperti sekarang, nah silahkan kita diskusikan nanti dalam pembahasan RPP,” tegas Yudi.
Direktur Dana Transfer Umum Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Sandy Firdaus menambahkan, dari hasil simulasi penggunaan sistem basket anggaran belanja pegawai ini, saat ini belum memungkinkan 100% daerah menerapkan dalam waktu dekat. Termasuk soal penerapan gaji dengan rentang yang baru.
“Terkait daerah yang mungkin kolaps sebetulnya ini masih dalam simulasi, bagaimana dengan rentang baru ini apakah 546 daerah bisa langsung melaksanakan semua, walaupun kemungkinan itu kecil jika bisa 100% semua masuk di range salary yang ada, sebenarnya kemungkinan kecil,” kata Sandy.
Namun, ia menekankan yang ingin diubah pemerintah saat ini adalah terkait pemenuhan kesejahteraan ASN. Jika porsi anggaran belanja pegawai tidak diubah maka ia memperkirakan tidak akan ada perbaikan penghasilan para pegawai hingga masa pensiun.
“Ketika kita membicarakan manajemen ASN, ada dua hal yang harus diperhatikan, tidak hanya gaji tetapi juga pola yang kita bentuk yang ingin kita ubah, ada terobosan-terobosan baru dari Kementerian PANRB. Sekali lagi ini berproses, jadi masukan bapak ibu kita tunggu untuk daerah-daerah yang menjadi samp