Istilah genosida belakangan ini sering dibicarakan. Kata tersebut banyak diucapkan oleh beberapa figur dunia untuk menggambarkan pembantaian warga sipil Palestina di Gaza yang dilakukan Israel dengan kedok menghancurkan milisi bersenjata Hamas.
Pada tahun ini, beberapa laporan menyebutkan insiden pembantaian berbasis etnis juga terjadi di Republik Demokratik Kongo (DRC). Pembantaian tersebut dilakukan oleh kelompok March 23 (M23) terhadap penduduk Suku Hutu.
Konflik antara M23 dan suku Hutu sendiri diawali oleh Genosida Rwanda pada tahun 1994. Saat itu, pihak Hutu melakukan pembantaian terhadap satu juta warga suku Tutsi di negara itu.
Namun setelah pembantaian, Hutu mendapat serangan balik dari pihak Tutsi, yang membuat sebagian warganya melarikan diri ke wilayah DRC, utamanya ke wilayah Kivu Utara yang berbatasan dengan Rwanda. Di sisi lain, Tutsi akhirnya memegang kekuasaan di negara itu.
Pemerintah Rwanda pimpinan Presiden Paul Kagame, yang berlatar belakang Tutsi, diduga terlibat dalam gerakan M23 di DRC. Kelompok ini kerap kali melakukan pembunuhan dan pemerkosaan terhadap suku Hutu.
Awal bulan ini, pemberontak M23 merebut desa Kishishe di Kivu Utara, di sekitar benteng bersejarah Pasukan Demokratik untuk Pembebasan Rwanda, yang dibentuk oleh para pemimpin Hutu Rwanda yang terkait dengan genosida.
Pada November 2022, pemberontak M23 membunuh 171 orang di Kishishe, menurut PBB, sebagian besar adalah anak laki-laki dan laki-laki yang mereka tuduh sebagai anggota milisi.
Laporan Human Rights Watch pada bulan Juni menyebut milisi M23 telah melakukan pembunuhan di luar hukum, pemerkosaan, dan kejahatan perang lainnya sejak akhir tahun 2022.
Dewan Keamanan PBB menjelaskan para pemimpin M23, serta pejabat Rwanda yang membantu kelompok bersenjata yang kejam ini, ke dalam negara tersebut. UNICEF menambahkan pada April lalu bahwa Konflik di wilayah timur Kongo yang bergejolak telah mengganggu sekolah bagi 750.000 anak muda.
“Pembunuhan dan pemerkosaan yang tak henti-hentinya dilakukan oleh kelompok M23 didukung oleh dukungan militer yang diberikan komandan Rwanda kepada kelompok bersenjata pemberontak,” kata Clémentine de Montjoye, peneliti Afrika di Human Rights Watch, Selasa (28/11/2023).
“Baik Kongo maupun Rwanda mempunyai kewajiban untuk meminta pertanggungjawaban komandan M23 atas kejahatan mereka dan juga pejabat Rwanda yang mendukung mereka.”
Atas situasi ini, Direktur Intelijen Nasional Amerika Serikat (AS) Avril Haines melakukan perjalanan ke DRC dan Rwanda dan mengatakan Amerika Serikat akan memantau upaya mereka.
Presiden Rwanda Paul Kagame dan Presiden Kongo Felix Tshisekedi masing-masing menawarkan komitmen kepada Haines untuk “meredakan ketegangan di DRC timur,” demikian pernyataan Gedung Putih.