Tidak Ada Pilihan, RI Gagal Mewujudkan Status Negara Maju pada Tahun 2045

by -135 Views

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas merespon penelitian LPEM FEB UI yang memprediksi kemungkinan besar Indonesia tidak akan menjadi negara maju pada 100 tahun kemerdekaan atau pada tahun 2045. Penelitian tersebut tertuang dalam White Paper dari LPEM bagi Indonesia: Agenda Ekonomi dan Masyarakat 2024-2029.

Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas, Amalia Adininggar Widyasanti, menyatakan bahwa pemerintah tidak memiliki pilihan lain selain membuat Indonesia menjadi negara maju pada tahun 2045. Meskipun dia mengakui bahwa ada potensi kegagalan jika pertumbuhan ekonomi tetap stagnan pada tingkat 5% seperti saat ini atau business as usual.

“Menurut hitungan kami, jika pertumbuhan ekonomi hanya 5%, Indonesia tidak akan bisa keluar dari middle income trap dan menjadi negara maju. Namun, untuk menjadi negara maju sebelum tahun 2045, pertumbuhan minimal harus mencapai 6% per tahun,” kata Amalia kepada CNBC Indonesia pada Rabu (1/11/2023).

Winny, yang saat ini menjabat sebagai Pelaksana Tugas Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), menekankan bahwa meski kinerja perekonomian masih berada pada tingkat 5% saat ini, Indonesia tidak boleh mencari pilihan lain dan harus membuat negara maju pada tahun 2045. Dia mengatakan bahwa Indonesia mungkin akan kehilangan momentum untuk maju setelah bonus demografi berakhir pada tahun 2030. Hal ini terlihat dari rasio ketergantungan yang akan turun di bawah 50% hanya dalam 15 tahun ke depan. Rasio ketergantungan adalah perbandingan antara jumlah penduduk usia 0-14 tahun dan 65 tahun ke atas dengan jumlah penduduk usia 15-64 tahun.

“Jangan kita menyia-nyiakan momentum saat ini. Kita memiliki bonus demografi, yang merupakan momentum emas yang harus kita manfaatkan. Jadi jangan menunda cita-cita besar kita, pertanyaannya sekarang adalah bagaimana cara mencapai cita-cita ini dalam waktu kurang dari 20 tahun,” ungkap Winny.

Winny menegaskan bahwa karena pemerintah menyadari bahwa Indonesia tidak akan lepas dari middle income trap sebelum tahun 2045 jika pertumbuhan ekonomi hanya 5%, maka sejumlah strategi transformasi yang disarankan dalam White Paper LPEM FEB UI telah dirancang dalam RPJPN 2025-2045. Transformasi tersebut mencakup transformasi sosial, transformasi ekonomi, dan transformasi tata kelola.

Dalam transformasi sosial, arah kebijakan yang ditetapkan adalah menciptakan pendidikan berkualitas dan merata, jaminan kesehatan untuk semua masyarakat, dan perlindungan sosial yang adaptif. Indikatornya termasuk rata-rata nilai PISA pada tahun 2025 untuk sains meningkat dari 416 menjadi 487 pada tahun 2045, usia harapan hidup meningkat dari 74,4 tahun menjadi 80 tahun, dan tingkat kemiskinan turun dari 6-7% menjadi 0,5-0,8%.

Untuk transformasi ekonomi, fokusnya adalah pengembangan riset dan inovasi (R&D), produktivitas ekonomi, ekonomi hijau, transformasi digital, integrasi ekonomi domestik dan global, serta pengembangan perkotaan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. Indikatornya termasuk peningkatan rasio PDB industri pengolahan dari 20% menjadi 28%, pengeluaran riset dan inovasi dari 0,28% PDB menjadi 2,2-2,3% PDB, dan ekspor barang dan jasa dari 26% PDB menjadi 40% PDB.

Sementara itu, transformasi tata kelola melibatkan penciptaan regulasi dan tata kelola yang berintegritas dan adaptif. Stabilitas ekonomi makro juga menjadi landasan transformasi, dengan indikator seperti rasio pajak terhadap PDB meningkat dari 10-12% pada tahun 2025 menjadi 18-20%, tingkat inflasi menurun dari 1,5-3,5% menjadi 1-3%, dan total kredit per PDB meningkat dari 37,8% menjadi 80-90%.

“Jadi pendidikan, inovasi, dan riset didorong untuk meningkatkan produktivitas. Kita juga mendorong industrialisasi teknologi tinggi, modernisasi pertanian, transformasi digital, dan peningkatan produktivitas tenaga kerja. Kita juga mendorong ekonomi Indonesia untuk menjadi lebih terintegrasi dan lebih efisien, sehingga kita memiliki kekuatan yang lebih besar,” ucap Winny.

“Maka dari itu, ini adalah upaya untuk mencapai cita-cita. Ini harus dilakukan bersama-sama, melibatkan semua akademisi, masyarakat, pemerintah, dan swasta. Jika semua sudah tahu dan yakin akan cita-cita ini, maka mencapainya akan lebih mudah karena kita bekerja sama,” tambahnya.